PERAN
BAHASA INDONESIA DALAM DUNIA ARSITEKTUR
Inung
Dwi Nurhadi
Nim
: 41214110136
2015/2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Peran Bahasa Indonesia dalam Dunia
Arsitektur ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih pada Bapak Abdul Gaffar Ruskhan, Drs, M.Hum
selaku Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia UMB yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai peran Bahasa Indonesia dan
juga untuk membantu dalam pembuatan karya tulis dalam arsitektur agar
mudah di pahami dan di mengerti oleh seluruh lapisan masyarakat..
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.
Jakarta
, Desember 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Era
global menuntut kompetensi dan kompetisi yang tinggi bagi output
perguruan tinggi dalam memasuki pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi
yang dipersiapkan dengan matang sesuai tuntutan diatas akan mampu
terus melakukan pengembangan secara terus menerus (continous
improvement). Universita Mercu Buana sebagai lembaga pendidikan
tinggi yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran dengan tujuan untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli di
bidangnya, berkualitas, profesional, mampu bersaing di era global.
Dan sesuai misi perguruan tinggi untuk menjadi perguruan tinggi
terdepan, modern dan mandiri. Pengembangan kurikulum KBK yang telah
diterapkan secara menyeluruh pada jurusan di Universita Mercu Buana
belum menyentuh secara substantif pada materi-materi pembelajaran
yang bertumpu pada kebutuhan pasar.
Perkembangan
standarisasi di bidang arsitektur yang sedemikian pesat juga menjadi
kendala terhadap penyesuaian secara gradual untuk mencari dan
memahami secara bersama-sama seluruh komponen kebutuhan pasar yang
dapat diserap bagi pengembangan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Dalam kerangka untuk menjaga kontinuitas penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran, khususnya di jurusan arsitektur Universita Mercu
Buana, diperlukan kreatifitas metode-metode pengajaran yang mampu
menjawab tuntutan pasar.
Proses
belajar yang efisien tergantung dan dipengaruhi oleh iklim belajar
(learning climate) yang mencakup keadaan fisik, sosial, mental anak
didik, minat, sikap dan nilai-nilai, serta sifat-sifat kepribadian
dan kecakapan-kecakapan (Alfred Adler & Kunkel dalam Ngalim
Purwanto: Psikologi Pendidikan, 2004). Kebutuhan akan orientasi baru
dalam pendidikan disain terasa begitu kuat dan nyata, karena
karakteristik disain yang mendasar yakni sebagai pembentuk perubahan.
Tetapi bukan sekedar refleksi perubahan, tetapi secara parsial
merupakan penyebab dari kebanyakan perubahan (Cross, 1984).
Penulisan
ini merupakan suatu kajian terhadap sistim pembelajaran yang
bertujuan menumbuhkan kepekaan persaingan untuk menghasilkan karya
terbaik bagi mahasiswa. Melihat tuntutan kebutuhan pasar kerja yang
menuntut kompetensi yang sangat tinggi terhadap para lulusan
perguruan tinggi, maka diperlukan suatu metode pengajaran yang dapat
menghasilkan out-put lulusan yang mempunyai kompetensi berstandar
tinggi dan selalu menghasilkan karya-karya terbaik. Dengan
penyampaian bahasa yang baik dan tepat.
Arsitektur
adalah seni yang dilakukan oleh setiap individual untuk
berimajinasikan diri mereka dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam
artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun
keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu
perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lanskap, hingga
ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain
produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan
tersebut.
Bangunan
membutuhkan identitas agar dikenal clan dipahami masyarakat. Maka
untuk menyampaikan identitas tersebut bangunan menggunakan bahasa
arsitektur tertentu yang dapat mengungkapkan ekspresi clan karakter
yang diinginkan melalui pemakaian kata-kata atau kalimat berupa
elemen-etemen Dan unsur unsur pembentuk bangunan yang dikombinasikan
dengan metode clan gaga tertentu. Penulis mengkaji pemakaian bahasa
arsitektur untuk mengungkapkan identitas pada bangunan bank, karena
bank sangat membutuhkan identitas agar dikenal, terutama identitas
bagi usahanya. Bangunan bank ini ingin memiliki karakter dengan kesan
tertentu sehingga bangunan mempunyai cid tersendid yang berbeda
dengan bangunan bank lainnya, dengan kata lain memiliki identitas
pada bangunannya. Hasil kajian ini adalah agar kita dapat mengetahui
katakata, kalimat, metode dan gaya yang dipakai sebagai identitas
pada bangunan bank itu sehingga kits dapat menyimpulkan apakah bahasa
yang digunakannya sudah mampu menjadi identitas bagi bangunan
tersebut.
Maka
dari itu untuk mengetahui identitas tersebut di perlukan bahasa yang
lugas dan dapat di pahami dengan baik dalam penyampaianya.
- Melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca yang efektif
- Melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber;
- Mengenalkan dengan kegiatan kepustakaan;
- Meningkatkan pengorganisasian fakta/data secara jelas dan sistematis;
- Memperoleh kepuasan intelektual;
- Memperluas cakrawala ilmu pengetahuan;
- Sebagai bahan acuan/penelitian pendahuluan untuk penelitian selanjutnya
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi
yang membutuhkan dan bagi mahasiswa Arsitektur khususnya. Penulis
mengaharapkan tulisan ini bisa menjadi suatu pemaparan yang dapat
menjelaskan metodologi penelitian ilmiah dalam ilmu Bahasa yang baik
bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas akhir
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang
RI nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa perencana (arsitektur)
diisyaratkan mempunyai tingkat keahlian yang profesional, yang
dinyatakan dalam bentuk pemilikan sertifikat keahlian yang kriteria
penilaiannya dilakukan asosiasI profesi. Union Internationale de
Architectes (UIA) menetapkan persyaratan 5 tahun pendidikan tinggi
dan 2 tahun magang sebagai syarat untuk memperoleh sebutan. ”arsitek”
setelah melalui penilaian dan ujian keahlian profesional di bidang
arsitektur. Maka Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) mendefinisikan
arsitek sebagai sebutan ahli yang mempunyai latar belakang atau dasar
pendidikan arsitektur dan atau yang setara, mempunyai kompetensi yang
diakui dan sesuai dengan ketetapan organisasi serta melakukan praktek
profesi arsitek. UIA menetapkan 13 butir kualifikasi dasar
(kompetensi) persyaratan profesional arsitek, yang menyangkut
ketrampilan (skill) dan kemampuan (ability) yang harus dikuasai
setelah melalui pendidikan yang diakui dan dibuktikan dengan
pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman, dan hal ini telah ditetapkan
dalam Anggaran Dasar IAI tahun 1999.
Berdasarkan
KepMenDikNas nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar, bahwa pendidikan
akademik adalah pendidikan yang diarahkan untuk penguasaan ilmu,
pengetahuan dan teknologi. Pendidikan profesional adalah pendidikan
yang diarahkan terutama untuk kesiapan penerapan keahlian tertentu,
untuk dapat dikatakan sebagai arsitek.
Disini
terlihat adanya perbedaan pemahaman tentang ”akademik” dan
”profesional”. Ditinjau dari kualifikasi arsitek, maka pemilahan
pendidikan akademik dan profesional menuntut spesialisasi yang
berbeda. Sedangkan secara kemampuan disain (merancang arsitektur)
memerlukan latihan dan dalam waktu yang cukup lama.
”Profesi”
mempunyai arti pekerjaan (occupation) yang diakui secara umum, yang
didukung oleh keahlian (skil), keilmuan (learning) dan kepakaran
(expertise) yang ditawarkan sebagai jasa bagi kepentingan orang lain.
Maka Pendidikan Tinggi merupakan kriteria utama keprofesian yang
sekaligus menetapkan tingkat kualifikasi profesionalitas seseorang.
Tujuan
pendidikan disain adalah untuk membantu para mahasiswa memutuskan
siapakah diri mereka, apa yang mereka bela, dan kemana mereka akan
pergi (Holt, 1997). Hal ini merupakan esensi dasar dari klarifikasi
nilai-nilai untuk mengembalikan titik pusat pembelajaran yang
berbasiskan pada otoritas pengajar ke individu untuk menjadi
pengendali dari proses nilainya sendiri.
Merancang
adalah urutan tindakan untuk menghasilkan sesuatu, dalam hal ini
adalah bangunan dan lingkungan binaan lainnya. Kegiatan perancangan
untuk menghasilkan suatu rangkaian instruksi (dalam bentuk denah,
spesifikasi) yang akan kita laksanakan dan dalam pelaksanaannya akan
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Sudarminta, 2004). Model
pembelajaran dalam mata kuliah utama dalam arsitektur adalah kegiatan
perancangan bentuk dan ruang atau disebut sebagai perancangan
arsitektur, dengan aktifitas utama untuk melatih kemampuan motorik
dan psikomotorik secara terpadu. Dimana semua mata kuliah yang
bertumpu pada garis ”core” ini akan diintegrasikan secara
bersama-sama dalam satu obyek bahasan (tugas).
Pendidikan
arsitektur memiliki pengaruh yang sangat besar pada terbentuknya
”ideologi” dari seorang calon perancang, atau dapat dikatakan
memiliki peran besar dalam pembentukan ”ideologi” seorang
perancang. Sehingga harus benar-benar diusahakan bahwa ideologi yang
terbentuk bagi mahasiswa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
pertumbuhan arsitektur indonesia.
Kompetisi
di pasar kerja memerlukan karakter yang kuat bagi lulusan untuk
memahami dan mengetahui kondisi persaingan yang terjadi. Competitive
model merupakan wacana berpikir dan bertindak yang terintegrasi
dengan kondisi persaingan skill dan ketrampilan untuk mendapatkan
hasil terbaik (best product) yang diimplementasikan dalam sistim
pembelajaran, khususnya perancangan, sehingga suasana akademik dan
output skill atau ketrampilan yang didapat bisa setara dengan skill
dan kemampuan pasar kerja. Competitive model merupakan metode
pembelajaran untuk menghasilkan karya atau hasil terbaik pada setiap
jenjang tingkatan proyek perancangan dan tugas akhir. Karena metode
ini juga mengupayakan tumbuhnya suasana persaingan yang sehat secara
akademis guna menghasilkan hasil akhir terbaik berdasarkan standar
kompetensi yang akan ditetapkan pada setiap jenjang atau tahapan
akademis.
Konsepsi
dasar metode pembelajaran ini adalah menumbuhkan pengalaman kepekaan
ruang secara visual dalam suasana kompetisi di kalangan anak didik
untuk mencapai output akhir, dengan berdasarkan pada prinsip
pengembangan keilmuan secara terus menerus (continous improvement).
Dalam
aspek kreatifitas dikatakan bahwa kreatifitas merupakan kemampuan
seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa ide,
gagasan, karya nyata, dan yang relatif berbeda dengan apa yang sudah
ada sebelumnya. Dalam kaitan ini, maka adanya kompetisi memungkinkan
terjadinya interaksi sosial antar mahasiswa untuk menghasilkan karya
terbaik dan baru sehingga memunculkan semangat kreatifitas yang lebih
sistematis dan terstruktur.
Model
ini diharapkan dapat diterapkan pada mata kuliah utama dalam
pembelajaran perancangan arsitektur, dimana produk perancangan
berasal dari ’umpan’ proyek (tugas) yang harus dilakukan secara
mandiri berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan sesuai bobot
dan jenjang mata kuliah (perancangan). Tingkat kompetensi hasil akhir
dapat disetarakan dengan mengirimkan hasil akhir pada lomba-lomba
karya arsitektur mahasiswa yang sepadan untuk dikompetisikan secara
berkala. Cara yang paling mudah adalah dengan mengirimkan hasil karya
akhir mahasiswa terbaik pada PT–PT lain yang sejenis atau
pertemuan-pertemuan mahasiswa arsitektur, seperti TKI MAI (Temu Karya
Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia).
Didalam
melihat karya arsitektur yang kreatif, biasanya adalah yang tidak
biasa, mewah, mengagetkan, atau sebuah konfigurasi yang aneh. Jadi
yang kreatif adalah ”ketidak-biasaan” atau ”keanehan” dan
”yang belum terlihat”, sehingga sebuah karya yang secara sepintas
merupakan pengulangan yang sudah ada dan biasa terlihat tidak akan
pernah mendapat perhatian.
Klassen
(1990), berpendapat bahwa berarsitektur merupakan pentahapan
kontemplasi yang terjadi setiap tahap. Tahapan-tahapan itu meliputi:
- Memahami Arsitektur (Understanding Architecture)
- Mengalami Arsitektur (Experiencing Architecture)
- Membuat arsitektur (Making Architecture)
Langkah
pertama, dalam arsitektur, elemen pembentuk ruang dan elemen pengisi
ruang mempunyai hubungan yang demikian erat yang menentukan kualitas
visual. Bruno Zevi (1974), bahwa ruang tak dapat ditampilkan secara
lengkap dalam bentuk apapun dan hanya dapat dipahami dan dirasakan
melalui pengalaman langsung. Memahami ruang, mengetahui bagaimana
melihatnya, merupakan pengalaman tersendiri bagi manusia.
Langkah
kedua, manusia dengan kelengkapan fisik dan psikis memungkinkan untuk
menanggapi, merespon berbagai macam bentuk dan olahan ruang, serta
pengaruhnya terhadap intelektual dan emosional mereka. Kesan ruang
diterima manusia melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman
yang mampu membangkitkan kesan emosional atau image tertentu bagi
jiwanya. Langkah ketiga, dialog manusia dengan ruang selain melalui
proses visual. Dalam proses making architecture ini, arsitek menggali
kembali kenangan atas pengalaman spatial dan membayangkan pengalaman
tersebut hadir dalam imajinasi ketika merancang bangunan.
Pengetahuan
dan pengalaman ruang dapat diperoleh dengan mengalami sendiri,
sehingga dikatakan imajinasi arsitektural lebih merupakan imajinasi
natural daripada imajinasi artifisial. Imajinasi natural memerlukan
proses kontemplatif dari pengalaman-pengalaman yang didapatkan secara
langsung, sehingga ia dapat menghadirkan kembali dalam bentukan yang
lebih baru (Iconoclast, Hillier, Hanson & Penn, 1997).
BAB III
PENUTUP
Orientasi
pembelajaran disain yang berbasis kompetitif haruslah menekankan pada
proses dan produk belajar yang menyeluruh dengan tingkat kompetisi
yang tinggi untuk menghasilkan produk disain terbaik dari diri
mahasiswa. Konstruksi nilai-nilai haruslah membelajarkan mahasiswa
untuk mampu mengembangkan berbagai teknik dan metode untuk
mengkonstruksi serta mengembangkan kesadaran yang mendasar untuk
menggugah semangat, prioritas-prioritas, dan nilai-nilai dari
orang-orang yang terkena dampak dan memiliki kendali terhadap
pemanfaatan produk. Mampu menyerap aspirasi masyarakat pengguna dan
beradaptasi pada suatu profesi dan masyarakat yang selalu mengalami
perubahan yang dinamis, atau bahkan perubahan yang radikal dan tak
terduga.
Pengalaman
berarsitektur dapat membantu seorang perancang untuk membuat
arsitektur, karena pengalaman estetik menghadirkan esensi dari
pengalaman itu sendiri.
Canter, David. “Psychology
for Architect”, Applied Science Publisher
Ltd., London, 1974.
Crowe,
Norman. “Nature and Idea of A Man-made Worl” Cambridge,
Masschusetts, The MIT Press, 1997.
Cross,
A., “Towards an Understanding of Intrinsic Values of Design
Education, Design Studies”, 1984.
Drs.
Muh. Ngalim Purwanto, MP., “Psikologi Pendidikan”. Penerbit PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004.
Heath,
Tom, “Method in Architecture” John Willey and Sons Ltd. Norwich,
1984.
Holt,
J.E., ”The Designer’s of Judgement. Design Studies”18: 113-123,
1997.
Iconoclast,
ST., Hillier, B., Hanson, J. and Penn, A. “An Advanced Tutorial in
Axman”. Ed. Vaughan, L., Space Syntax Laboratory, The Barlett
School of Graduate Studies, Universitas Colledge London (UCL), UK,
1997.
Jules,
Frederick, A. “Dasar-dasar Persepsi untuk Perancangan Arsitektur”.
Dalam ”Pengantar Arsitektur” Ed. Snyder, JC. dan Anthony JC.
terj. Hendro Sangkoyo, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1991.
Klassen,
Winand, “Architecture and Philosophy” University of San Carlos,
Philipines, 1990.
Sudarminta,
“John Dewey : Experience and Education” alih bahasa oleh Hani’ah,
Terju, Jakarta, 2004.
Wade,
John, W., “Architecture Problem and Purposes: Architectural Design
as a Basic Problem Solving Process”, John Willey and Sons Ltd,
1977.
Komentar
Posting Komentar